Melawan Tirani Minoritas & Ancaman Bom Waktu Dibalik COVID-19

Mewaspadai dampak ikutan pandemi COVID-19

Ilustrasi : bom waktu

Benar ungkapan Dahlan Iskan, COVID-19  adalah minoritas yang mengalahkan mayoritas.

Berapa persen sih orang yang terinfeksi virus corona dalam satu kawasan hingga hampir seluruh aktivitas di suatu kawasan terganggu? Sekolah harus libur, bekerja dan beribadah harus dari rumah, mudik pulang kampung dilarang, lebaran tak bisa bersalam-salaman. Sedikit persen kasus COVID-19 itu mengalahkan hajat hidup mayoritas di suatu kawasan.

Di bidang kesehatan, kasus COVID-19 yang minoritas itu mampu mengalahkan pelayanan terhadap penyakit lain yang dari jumlah justeru mayoritas. Hari ini semua fokus pada pengendalian infeksi.

Di masa pandemi ini jumlah kunjungan di berbagai rumah sakit dan fasilitas layanan kesehatan turun drastis. Selain anjuran menunda pelayanan non emergency, barangkali pasien juga takut mengunjungi rumah sakit karena takut terpapar virus corona.

Ini bukan soal senang atau tidak senang, tapi apakah dengan COVID-19 pasien kencing manis, darah tinggi dan penyakit jantung lantas menjadi sembuh sehingga tak perlu mengunjungi fasilitas layanan kesehatan?

Lalu bagaimana dengan pasien paska operasi patah tulang, anak-anak berkebutuhan khusus, dan pasien stroke yang harus berhenti fisioterapi?

Lantas, apakah dengan datangnya COVID-19 pasien nyeri pinggang dan osteoarthritis  'ujug-ujug' bebas nyeri?

Peretengahan Maret lalu Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) sudah mengingatkan dampak 'stay at home' terhadap ancaman penyakit akibat kurang aktivitas. Sudah banyak penelitian mengungkapkan dampak buruk kurang gerak terhadap kesehatan. Tidak berlebihan jika ini dikatakan sebagai bom waktu dibalik COVID-19 ; Jumlah penyakit kronis akan mengalami lonjakan.

Sebuah artikel di situs ifi.or.id membahas dampak dari discontinue layanan fisioterapi di masa pandemi dan ancaman ledakan disabilitas (kecacatan) nasional yang membebani negara dikemudian hari, sebab pasien paska operasi harus berjuang sendiri melawan kekakuan sendi, pasien paska stroke telah kehilangan waktu emas pemulihan dan anak-anak berkebutuhan khusus harus berhenti fisioterapi.

Akumulasi dampak "stay at home" dan terhentinya layanan fisioterapi dan layanan keterapian fisik lain seperti terapi wicara atau okupasional terapi inilah yang dikhawatirkan sebagai bom waktu disabilitas yang ledakannya bisa memperberat pemulihan bangsa dari krisis COVID-19.

Ingat! Dampak kecacatan bukan hanya pada tingkat individu, tapi juga keluarga, masyarakat dan bangsa.

Ini harus ada jalan keluar, bagaimana pelayan kesehatan harus berjalan dengan aman dan pasien NON COVID-19 juga mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya. Jika harus menunda datang ke rumah sakit, konsultasi medis melalui telemedicine bisa jadi solusi, sebagaimana saran gugus tugas COVID-19.

Bagaimana dengan pelayanan keterapian fisik seperti fisioterapi?

Di negara-negara maju sudah memulai telefisioterapi, meskipun tak semua kasus bisa dilayani dari jarak jauh. Exercise label hijau mungkin aman dilakukan dengan supervisi daring, tapi exercise label biru dan merah tentu butuh manual handling oleh fisioterapis.

Barangkali payung hukum layanan kesehatan daring memang belum terlalu lebar dan teduh. Belum bisa mengakomodir layanan kesehatan online yang menjadi urgen saat ini. Tapi hukum bukan soal ayat dan pasal bukan?

Lebih dari itu, kita berharap pandemi ini segera berakhir. Selain physical distancing dan perilaku hidup bersih dan sehat, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyarankan pemerintah untuk melakukan tes massal, sehingga pemetaan wilayah menjadi lebih jelas dan pembatasan sosial jadi lebih efektif.

Mari kita berdoa agar pandemi ini segera berlalu. Semoga para dokter dan tenaga kesehatan selalu dalam lindungan Allah SWT. Semoga rakyat Indonesia diringankan penderitaannya dan diberi kesabaran dalam menjalankan protokol physical distancing, semoga statemen pemerintah tak lagi membingungkan dan tak perlu lagi ada hastag #indonesiaterserah


Sumber bacaan :

Write a comment